Sebelum mesin cuci memenuhi setiap sudut rumah, sebelum layanan laundry kilat hadir hanya dengan sentuhan aplikasi, masyarakat Indonesia punya cara sendiri untuk mencuci pakaian: laundry tradisional. Di desa-desa dan kota kecil, mencuci pakaian bukan hanya rutinitas rumah tangga, tapi bagian dari kehidupan sosial.

Dulu, warga sering mencuci di sungai atau sumur umum. Aktivitas ini menjadi momen bersosialisasi, saling bertukar kabar, bahkan membahas isu kampung. Ada tawa, cerita, dan kadang nyanyian—suara air mengalir menjadi musik latarnya.

Selain menjadi ruang interaksi, metode laundry tradisional memiliki sentuhan yang sangat manusiawi. Kain direndam dengan sabun batangan, dikucek dengan tangan, dan dijemur berjejer di tali yang dibentangkan di halaman atau pekarangan. Setiap proses dilakukan dengan perhatian, tanpa bantuan mesin, namun penuh rasa.

Kini, praktik ini semakin jarang ditemui. Laundry modern hadir dengan efisiensi dan kecepatan, namun perlahan mengikis nilai-nilai sosial dan kultural dari kegiatan mencuci. Meski demikian, masih ada sebagian masyarakat—terutama di pedesaan—yang mempertahankan tradisi ini sebagai bentuk kebersamaan dan warisan hidup yang sederhana namun bermakna.

Mungkin kita tak harus kembali ke sungai, tapi mengingat bahwa bahkan kegiatan sehari-hari seperti mencuci pakaian dulu bisa menyatukan manusia—adalah pengingat indah bahwa teknologi seharusnya melengkapi, bukan menggantikan sentuhan manusia.

 

Image Generate By Meta AiChatGPTOpen AI