Di sebuah laundry kecil di pinggir kota, suara mesin cuci yang berputar selalu menjadi latar musik sore. Aroma deterjen dan pelembut yang lembut menyambut setiap pelanggan yang datang. Di sudut ruangan, ada sofa kecil dan rak berisi majalah lama — tempat banyak orang menunggu cucian mereka sambil bersantai.
Setiap Sabtu sore, Naya datang ke laundry itu. Ia mahasiswa yang tinggal di kos dekat situ. Naya punya kebiasaan aneh: ia selalu melipat bajunya sendiri, meski staf laundry menawarkan jasa lipat gratis. “Aku suka melipat sendiri,” katanya sambil tersenyum pada Mbak kasir.
Di saat yang sama, Adrian — seorang pemuda yang bekerja di toko buku — juga rutin datang ke laundry itu. Ia lebih suka menunggu cucian sambil membaca novel. Adrian selalu duduk di sudut sofa, dengan earphone terpasang dan secangkir kopi dari mesin otomatis.
Awalnya, mereka hanya saling melihat sekilas. Naya memperhatikan buku yang dibaca Adrian, Adrian memperhatikan cara Naya melipat bajunya dengan rapi. Mereka bertukar senyum, lalu pandangan itu menjadi kebiasaan setiap Sabtu.
Suatu sore, karena mesin cuci penuh, Naya terpaksa menunggu giliran. Adrian yang melihatnya berdiri bingung langsung berkata, “Pakai mesin saya saja. Kita gabung aja, kalau nggak keberatan.” Naya kaget tapi tersenyum. “Serius? Baju saya banyak loh.” Adrian tertawa, “Mesin ini kuat kok.” Mereka pun akhirnya duduk bersama sambil menunggu putaran mesin cuci.
Percakapan mereka dimulai dari hal-hal kecil: sabun mana yang wanginya lebih enak, tips menghilangkan noda kopi, sampai obrolan soal film yang baru mereka tonton. Naya bercerita ia sedang skripsi dan sering begadang, Adrian bercerita ia bercita-cita membuka toko buku kecil. Obrolan ringan itu perlahan menjadi jembatan yang menghangatkan hati mereka.
Hari demi hari, mereka semakin sering bertemu. Kadang Adrian datang membawa kopi lebih untuk Naya. Kadang Naya membawa camilan kecil untuk dibagi berdua. Mbak kasir yang melihat mereka hanya tersenyum-senyum sendiri. “Kayak drama Korea aja ya,” gumamnya setiap kali pasangan itu datang.
Suatu sore, hujan turun deras. Semua pelanggan bergegas pulang. Adrian selesai lebih dulu, tapi ia menunggu Naya yang masih melipat bajunya. Ketika Naya selesai, hujan belum juga reda. Adrian mengulurkan payungnya. “Aku antar kamu pulang ya, kosmu dekat kan?” Naya sempat ragu tapi akhirnya mengangguk. Mereka berjalan berdua di bawah payung kecil, menyusuri jalan basah sambil tertawa.
Sejak hari itu, laundry kecil itu bukan hanya tempat baju mereka menjadi bersih. Laundry itu menjadi saksi awal kisah mereka — tawa pertama, percakapan pertama, payung pertama. Sekarang, setiap Sabtu sore, mereka datang bersama. Naya tak lagi melipat bajunya sendirian, Adrian tak lagi duduk di sudut sofa dengan earphone. Mereka duduk berdampingan, bercakap tentang mimpi mereka, dan kadang diam bersama mendengarkan suara mesin cuci yang berputar.
Karena di antara putaran mesin cuci dan aroma pelembut, mereka menemukan sesuatu yang lebih hangat dari pakaian yang baru saja kering: cinta.